Kamis, 05 April 2012

Guntur dari Wakatobi; Sebuah Film Kolaborasi

Program Film Kolaborasi Sejak 2006, kami menemui kesamaan persoalan yang dihadapi oleh kelompok remaja dalam komunitas yang berbeda-beda yang selama ini di temui dalam kerja kerja kami yaitu : proses pemiskinan di komunitas yang dimulai sejak dari remaja. Untuk itu maka Kampung Halaman berinisiatif untuk membuat film kolaborasi bersama kelompok remaja yang dapat menjelaskan konteks besar persoalan remaja di dalam komunitas kecil dan terpencil di Indonesia. Bersama Alumni Indonesia Youth Media Camp 2008, Fikri Yathir, Film Kolaborasi merekam jejak Rusdin di Indonesia ketika pulang dari Tawau, Sabah, Malaysia. Harapan, realitas yang menangkap kehidupan Rusdin, dari sudut pandang Rusdin, Fikri Yathir, dan Dian Herdiany, untuk masa depannya terpapar jelas dalam film kolaborasi yang sedang dalam masa pengerjaan ini. Pengambilan gambar dilaksanakan dalam dua waktu yang berbeda, pertama pada saat Rusdin pulang ke Indonesia, direkam oleh Fikri Yathir dan Zery, November 2009, kedua direkam oleh Dian Herdiany dan Eko, Juni-Juli 2010, merekam momen Rusdin mengikuti ujian persamaan setingkat SMA dan juga hobi rusdin dalam bernyanyi Dangdut yang bisa menghasilkan uang. Berikut catatan Fikri Yathir saat menemani Rusdin pulang ke kampung halamannya. Cerita Rusdin, Remaja Indonesia yang Pernah Bekerja Sebagai TKI Ilegal di Malaysia By: Fikri Yathir Rusdin namanya. Usianya baru 19 tahun. Kali pertama kami bertemu dalam workshop Indonesian Youth Media Camp (IYMC) 2008 di Yogyakarta yang pesertanya terdiri dari 31 remaja dari berbagai komunitas se-Indonesia. Rusdin sendiri berasal dari sebuah kampung di Kaledupa, Sulawesi Tenggara. Ia adalah sosok remaja yang humoris, periang, dan mudah bergaul. Pertengahan November 2009 lalu, secara tidak kebetulan kami bertemu lagi. Dian Herdiany, direktur Kampung Halaman, yayasan yang menyelenggarakan workshop IYMC, menelepon saya. Ia menjelaskan bahwa Kampung Halaman akan mengadakan proyek dokumenter mengenai perjalanan pulang Rusdin ke kampung halamannya Kaledupa setelah bekerja selama sembilan bulan sebagai TKI ilegal di Malaysia. Saya diajak karena kapal yang ditumpangi Rusdin dari Nunukan akan transit di Makassar. Saya mengiyakan tanpa pikir lama karena memang sudah lama saya ingin ke Wakatobi, apalagi Pulau Hoga setelah melihat liputan Riyanni Djangkaru dalam program tv Jejak Petualang. Sebelumnya, Rusdin sudah menelepon saya lebih dulu. Namun ia hanya menanyakan kabar dan memberitahukan bahwa sebentar lagi ia akan pulang. Saya memang sudah tahu bahwa ia berada di Malaysia. Namun setelah mendengar penjelasan Mbak Dian, saya sontak kaget mengetahui bahwa ternyata Rusdin bekerja sebagai TKI ilegal di sana. Suatu waktu, Rusdin pernah menelepon saya dari Malaysia. Ia mengabarkan bahwa saat itu ia berada di Kuala Lumpur bersama teman-teman seorganisasinya, Forkani, untuk suatu kegiatan sosial. *** Malam minggu 21 November 2009 sekitar pukul 10.00 lebih, saya menjemput Rusdin di pelabuhan Makassar bersama Zery, utusan Kampung Halaman yang akan bertugas sebagai juru kamera. Zery juga sudah kami kenal sejak di Jogja. Waktu itu, dia dokumentator selama workshop IYMC. Dia sudah tiba di Makassar sejak pukul 11 siang harinya. Saat bertemu Rusdin di pelabuhan yang suasananya saat itu sudah sepi, saya lumayan kaget melihat beberapa perubahan pada diri Rusdin. Kulitnya semakin putih dan badannya nampak agak lebih gemuk. Hanya anak-anak jerawat di pipinya saja yang tidak berkurang. Namun menurut Zery, Rusdin tidak ada perubahan dalam bobot badannya. Entahlah siapa yang benar karena kami berdua sama-sama melihatnya dengan mata mengantuk oleh rasa capek setelah membahas mengenai proses syuting dan jalan-jalan sore memperkenalkan Zery tentang sekitar rumahku, Pasar Terong dan Masjid Al-Markaz yang letaknya tepat di depan area pasar sambil menunggu kedatangan Rusdin. Setelah menjemput Rusdin, dengan menumpang taksi yang sama, kami mencari tempat makan. Rencananya, saya ingin mengajak mereka menikmati Coto Nusantara yang sangat terkenal di Makassar. Namun Pak Supir memberitahu bahwa warung yang terletak di Jalan Nusantara, yang sebenarnya bisa ditempuh dengan jalan kaki dari pelabuhan, biasanya sudah tutup pukul 2 siang. “Begitu dek, kan warungnya laku keras, makanya makanannya cepat habis dan cepat tutup juga” jelasnya sambil menyupir santai. Sebenarnya saya tahu, namun saya lupa akibat terlalu lelah dan sangat mengantuk. Saya kemudian menyuruh Pak Supir menuju Coto Gagak di Jalan Gagak. Saya ingin sekali mereka mencoba aroma coto langsung di Makassar. Rusdin juga mengaku belum pernah mencicipi. Namun lagi-lagi tidak jadi karena lumayan jauh jaraknya. “Cari tempat makan yang dekat-dekat sini saja” ujar Zery tidak sabar. Saya tahu dia juga kecapekan dan didera kantuk. Akhirnya kami singgah di restoran Mi Titi di Jalan Irian, kurang lebih 3 menit menumpang taksi dari pelabuhan. Setelah makan, kami langsung pulang ke rumahku. Kali ini dengan taksi yang berbeda. “Rumahmu jauh tidak, Fik, dari sini?” tanya Rusdin yang duduk di samping saya di jok belakang sambil melihat-lihat kota Makassar menjelang tengah malam dari balik jendela taksi. Saat saya menoleh melihatnya, rasa lelah dan ingin segera istirahat tergambar jelas dari mukanya. “Tenang aja, bentar lagi kok. Paling lima menit. Capek ya, Din?” sambil tersenyum saya bertanya meski sudah tahu jawabannya. Di jok depan samping supir, Zery hanya duduk diam setelah sibuk menggeluti kamera. Niat Awal ke Malaysia dan Jalur Ilegal Setiba di rumahku, kami ingin segera tidur. Namun Rusdin terlanjur cerita mengenai alasannya ke Malaysia dan bagaimana ia bisa sampai ke negeri jiran itu. Terpaksa kami menunda niat awal selama kurang lebih satu jam. Zery pun melaksanakan tugasnya merekam percakapan saya dengan Rusdin. Rusdin lahir pada 12 Juli 1990 di Malaysia. Ayahnya orang asli Buton Wakatobi, sementara ibunya asli Malaysia. Keduanya bertemu ketika Pak Rahidun, ayah Rusdin bekerja di sebuah kapal pengangkut komoditi ekspor yang sering berlayar hingga ke perairan Malaysia. Mereka kemudian menikah dan menetap di sana. Ketika Rusdin masih balita, keduanya bercerai. Konon karena Ibu Sitti,ibu kandung Rusdin main serong dengan seorang lelaki yang kini jadi suaminya. Setelah melalui proses pengadilan, hak asuh anak diputuskan jatuh ke tangan Pak Rahidun. Setelah bercerai, beliau membawa Rusdin pulang kembali ke Wakatobi. Di sana beliau menikah lagi dan sekarang memilki empat orang anak yang masih kecil-kecil, saudara saudari tiri Rusdin. Anak tertua duduk di kelas 6 SD. Sejak kepindahan mereka kembali ke Indoneisa, Rusdin tidak pernah lagi bertemu ibu kandungnya. Rusdin kemudian dibesarkan bersama ayah kandung dan keluarga tirinya, sampai sekarang. Meski begitu, Rusdin mengakui bahwa ibu dan saudara-saudari tirinya sangat baik dan tidak jahat seperti di kisah-kisah negeri sinetron dan dongeng. Namun naluri seorang anak yang rindu ibu kandungnya tidak bisa dipungkiri. Rusdin ingin sekali melihat wajah ibu kandungnya. “Aku kan tidak tahu mukanya gimana karena waktu orang tuaku cerai kan aku masih kecil sekali, belum ingat apa-apa” ujar Rusdin. Untuk mewujudkan impiannya, Rusdin bekerja membantu ayahnya bertani rumput laut. Selain itu, Rusdin juga penyanyi kondang di kampungnya. Upah yang diperoleh dari hasil kedua kerjanya itulah yang ditabung untuk modal berangkat ke Malaysia menemui ibunya. Suatu hari, seorang tetangganya kembali ke Kaledupa setelah merantau lama di Malaysia dan mengabarkan Rusdin bahwa dia bertemu ibunya di sana. Melalui informasi tetangganya, Rusdin menelepon ibunya. Ia dikirimi uang 700 ribu rupiah. Ditambah dengan hasil tabungannya, Rusdin pun memberanikan diri berangkat ke Malaysia pada Februari 2009. Kapal Rusdin berlabuh dari pelabuhan Makassar menuju Nunukan sebelum ke Malaysia. Di Nunukan, ia punya seorang paman yang mengurus segala proses dan persyaratan administrasi untuk ke Malaysia. Namun Rusdin mengalami yang namanya birokrasi tak jelas juntrung. Ia harus membayar 800 ribu rupiah untuk mendapatkan paspor, itu pun paspor lintas berwarna merah yang tentu berarti jalur tak resmi, alias ilegal. Sesuai persyaratan, setiap bulan Rusdin harus ke Nunukan untuk mendapat stempel paspor sebab masa berlaku paspornya hanya sebulan. Biaya ke Nunukan ditanggung sendiri oleh masing-masing pemilik paspor. Rusdin tidak menyanggupi. Jadilah ia pendatang yang selama di sana berstatus ilegal. Menurut cerita Rusdin, pemeriksaan oleh aparat sangat ketat dan di mana-mana. Namun ia selalu punya siasat tersendiri untuk lolos. “Ya kita berlagak kayak orang sana saja. Berpakaian seperti mereka, cara bicara pun harus mirip-mirip cara mereka. Terus yang paling penting, jangan gugup apalagi takut kalau ada aparat. Santai saja!” ujar Rusdin juga dengan santai. Niat Berubah Setibanya di Malaysia, Rusdin dijemput ramah oleh ibu kandung dan keluarga tirinya di Tawaw. Menurut cerita Rusdin, saat pertama kali bertemu, ibunya memeluknya sangat erat dan menangis terharu. Namun Rusdin biasa saja. “Mungkin karena aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Jadi serasa bertemu dengan orang yang belum kukenal, sekalipun itu ibu kandungku sendiri”. Dengan menumpang mobil teman ayah tiri Rusdin, ia dibawa menuju tempat tinggal keluarga ‘barunya’ di daerah Batu 21. Di sanalah Rusdin tinggal, namun hanya sementara selama ia sembilan bulan di Malaysia. Mulanya keluarga barunya tersebut senang dengan kedatangan Rusdin. Mereka melayaninya dengan baik, santun, dan ramah. Namun tidak lama waktu berlalu, ibunya yang bekerja menabur pupuk sehari-hari di sebuah lahan pertanian, mengusir Rusdin tanpa sebab yang pasti. “Mungkin sekali karena ibuku masih menyimpan dendam terhadap bapak” kata Rusdin. Saya sendiri tidak habis pikir mendengar rangkaian cerita ini. Saya kurang yakin. Rusdin memang selalu bercanda, dan tidak jarang setiap bercanda mimiknya seperti orang yang serius. Seperti cerita di sinetron-sinetron kacangan, gumamku dalam hati. “Aku juga nggak tahu ada apa sebenarnya. Tapi ya sudahlah, aku memilih minggat” sambung Rusdin seperti menebak pikiranku. Saya yakin ia sedang tidak bercanda. Akhirnya niat awal Rusdin ke Malaysia untuk sekedar bertemu ibu kandungnya berubah total. Ia ingin segera pulang dan tidak lagi menganggap ia punya keluarga di Malaysia. “Istilahnya nih ya, binatang pun sayang dengan anak-anaknya” ujar Rusdin serasa tanpa beban. Namun sebelum keluar dari rumah dan tidak pernah kembali lagi, ada seorang tetangganya yang menyarankan Rusdin bekerja di sebuah restoran sea food. Tetangganya itu ditawari untuk bekerja di sana sebab ia pernah bekerja di dekat restoran itu sebelumnya. Namun tawaran tersebut diserahkan ke Rusdin. Rusdin pun mau dan segera melamar jadi pegawai. Rusdin kembali menemui kesulitan saat melamar kerja. Ia tidak memiliki My Card, kartu yang digunakan orang di sana untuk melamar pekerjaan. Kartu ini bisa dicek di komputer untuk mengetahui apakah si pelamar warga negara Malaysia atau tidak. Tapi Rusdin tidak habis akal, ia menunjukkan sebuah surat sumpah (semacam akte kelahiran menurut Rusdin) yang di dalamnya tertera bahwa Rusdin lahir di Malaysia. Di surat tersebut, ada enam nama sebagai saksi. Dengan surat itu, lamaran kerja Rusdin diterima. Belakangan Rusdin tahu bahwa ketujuh pekerja di restoran tersebut semuanya merupakan pekerja ilegal. “Ternyata mereka lamarnya tidak pakai apa-apa” kata Rusdin. Suka Duka selama Bekerja Rusdin bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran itu. Setiap hari ia harus menunaikan tugasnya mulai pukul 6 sore dan baru pulang pukul 5 subuh. Setiap ada waktu senggang di sela-sela kesibukannya bekerja, ia pergi ke belakang restoran untuk menyendiri, memikirkan sanak keluarga, teman-teman, dan kampungnya Kaledupa. Rusdin berkisah mengenai suka duka yang dialaminya selama bekerja di sana. Setiap bulan, Rusdin diupah 300 ringgit, dipotong 60 ringgit untuk biaya kos yang disewakan oleh pihak restoran. “Namun jangan kira lebihnya itu banyak. Biaya hidup di Malaysia tinggi. Harga barang-barang mahal. Tau-tau sudah habis itu gaji!”. Meski begitu, bekerja di restoran sea food tidak perlu membuatnya khawatir soal urusan perut. Ia bisa makan dan minum apa pun yang dia mau, termasuk membungkusnya untuk dibawa pulang ke kosnya. Selain itu, ia mendapat banyak teman baru sesama pekerja ilegal dari berbagai negara dan suku bangsa. “Mereka semua tuh suka sama aku, soalnya kamu tahu sendiri kan aku gimana? Suka ngelucu,humor, ketawa-ketawa” ujar Rusdin berseloroh. Ia juga bercerita bahwa ia sangat dekat dengan seorang chef di restoran itu. Rusdin sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri, sekalipun koki itu punya anak yang masih kecil. Ia sering mengajak Rusdin bercerita, mengajarinya masak, dan tidak pernah marah kalau Rusdin masak sendiri menggunakan alat-alat dapur . “Aku juga sering diajak main ke rumahnya. Pokoknya dia baik banget”. Namun semenjak bos pertamanya yang berasal dari India pulang untuk menemui keluarganya, Rusdin mulai merasa tidak nyaman bekerja. Bos pertamanya itu digantikan oleh teman anaknya yang sifat dan sikapnya Rusdin tidak suka, meskipun sama-sama orang India. “Dia suka marah-marah dan selalu nyuruh-nyuruh aku kerja yang bukan pekerjaanku seperti nyapu lantai, ngepel, apalagi lap kipas. Aku kan tidak suka kotor-kotor. Dan kalau lapin kipas kan harus jinjit dan mendongak lama, itu bikin kaki dan leher capek . Aku sangat tidak suka!” jelasnya dengan sedikti kesal. Sebagai bentuk protes sekaligus perlawanan, Rusdin biasa membanting piring-piring yang dicucinya sehingga menimbulkan bebunyian yang ribut. Kalau ada yang pecah, Rusdin segera menyembunyikan pecahan-pecahan tersebut di bawah meja atau di mana saja asal tidak ketahuan. “Tanganku kan lebih lincah dari matanya bos. Tidak ada yang pernah ketahuan tuh! Selain itu, dia juga sering sekali ke dapur. Berlagak sok cari sesuatu. Padahal aku tahu apa maunya, mata-matain dan nyari-nyari kesalahan kita . Kalau sampai lapor yang bukan-bukan sama bos pertama, awas saja!” ujarnya dengan ekspresi seperti mengancam. Rusdin pernah cerita bahwa dia sebenarnya bisa dengan mudah untuk membuat bos dan restoran tempatnya bekerja jera, kalau dia mau. Menurut Rusdin, ia bisa saja melapor ke polisi dengan membeberkan bahwa semua pekerja di restoran itu adalah ilegal. Rusdin mengatakan bahwa kalau ketahuan, restoran tersebut akan didenda 3 sampai 4 juta rupiah per pekerja. “Tidak apa-apa aku juga masuk penjara 3 bulan, yang jelas restorannya rugi”. Namun Rusdin tidak tega teman-temannya kehilangan pekerjaan. Apalagi para aparat sudah sering makan di restoran tersebut dan diberi harga murah serta dibaik-baikin oleh bosnya. Pulang Rusdin bertahan di Malaysia selama sembilan bulan. Ketika ia mengabarkan teman-teman kerjanya bahwa ia akan pulang, mereka kaget dan sedih. Terutama Chef Pating, koki yang sangat baik itu. Rusdin berkata bahwa dia sempat menahan-nahannya untuk tetap di Malaysia. Dia bahkan langsung mencarikan Rusdin pekerjaan malam itu juga asalkan Rusdin tidak dulu pulang. Baru beberapa hari setelahnya dia menemukan pekerjaan baru untuk Rusdin, yakni sebagai room boy di sebuah hotel. Namun, Rusdin tetap berkukuh hati ingin pulang sekalipun gaji kalau mau bekerja di hotel itu lebih tinggi dari sebelumnya. Akhirnya, Rusdin pulang ke Indonesia November 2009. Sama seperti ketika berangkat, Rusdin pulang melalui jalur ilegal. Di pelabuhan Tawaw, ia bersama rombongan lain yang juga sama-sama ilegal tidak naik kapal laut resmi, melainkan perahu kayu di sebelah pinggiran pelabuhan. Di tengah laut, mereka lalu berpindah ke speed boat yang sudah sejak tadi menunggu. Inilah yang digunakan menuju Nunukan. Tiba di Nunukan, Rusdin yang dimakelari oleh seorang yang disebutnya ‘paman’ mencari penginapan. Ketika hendak pulang, uang Rusdin tidak cukup untuk sampai di kampungnya Kaledupa. Ia hanya sanggup bayar hingga kapal yang ditumpanginya transit di Pare-pare. Rusdin pun menjaminkan ponselnya sebagai uang tambahan. Rencananya, jika sudah tiba di kampung nanti, ponsel tersebut akan diserahkan kepada si ‘paman’. Namun, bukan Rusdin namanya kalau tidak panjang akal. “Kebetulan aku punya teman yang baru kenal di kapal. Dia juga orang Indon. Pas aku curhat, dia langsung nolongin aku. Untunglah dia ada kakak yang kerja di kapal itu” ujar Rusdin di sebuah sms ketika saya mengkonfirmasi beberapa hal saat ingin menuliskan artikel ini. Akhirnya selama menuju Makassar, Rusdin bersembunyi di kamar pribadi awak kapal tersebut saat pemeriksaan tiket. “Deg-degan juga sih, tapi mau apa lagi” lagi-lagi ungkapnya dengan mimik santai. Ponsel Rusdin pun tidak jadi sebagai jaminan. Saya tiba-tiba mengernyitkan dahi ketika Rusdin menyebut ‘Indon’. Setahu saya, masyarakat Indonesia di Malaysia tidak nyaman dipanggil demikian karena dianggap melecehkan. Namun saya tidak sempat menanyakan kepada Rusdin perihal ini. Saya memilih membiarkannya lanjut bercerita. *** Uang yang dipakai Rusdin untuk melanjutkan perjalannya yang terakhir menuju kampung halamannya merupakan pinjaman dari Kampung Halaman. Belakangan Zery memberitahu keluarga Rusdin bahwa uang tersebut “tidak usah dibalikin, biarin aja”. Ketika saya tanya apa sebanarnya yang menjadi alasan Rusdin memutuskan untuk pulang, ia menjawab mantap dengan suara yang agak menurun,”Aku ingin menemani ayah dan melihatnya hingga tua. Aku tidak mau seperti remaja Kaledupa lain yang ditinggal ayahnya dan tidak pernah kembali”. Memang, menurut data dari www.jalanremaja1208.org, dari 5338 keluarga, lebih 600 di antaranya tidak berayah akibat perantauan yang lupa pulang tanpa berita. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 11 malam. Percakapan selesai, Zery mematikan kamera. Akhirnya kami pun bisa beristirahat, melepas segenap lelah dan mengisi kembali tenaga untuk melanjutkan syuting keesokan harinya. *Didedikasikan untuk Rusdin*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar